

Dear Pengurus Vidya Sanggraha,
Terima kasih atas kesediaan anda memfasilitasi saya berbagi ide.
Saya Yosef Rumaseb, tinggal di Kota Biak – Papua, karyawan swasta, berasal dari kampung bernama Korido. Korido adalah ibu kota distrik (kecamatan) Supiori Selatan, Kabupaten Supiori, Propinsi Papua. Kabupaten ini baru dimekarkan dari Kabupaten Biak Numfor 5 tahun lalu.
Sebelumnya, akses ke kampung Korido dari kota Biak hanya bisa melalui laut menggunakan motor tempel selama sekitar 6 – 8 jam – tergantung pada kondisi laut. Saat ini akses jalan darat sudah mencapai kampung ini, dan puluhan kampung lain di sekitarnya. Dan listrik diharapkan pada akhir tahun 2010 atau tahun 2011 akan bisa dinikmati penduduk kampung.
Baik di kampung ini, maupun di beberapa kampung sekitarnya, terdapat beberapa SD dan SMP dan 1 SMA. Kegiatan siswanya demikian : pagi hari sang siswa bangun tidur, mandi lalu sarapan dan mengenakan seragam, memanggul tas dan berangkat ke sekolah. Tiba di sana, mungkin saja ada pelajaran yang diberikan, tetapi lebih sering tidak --- karena guru sedang berada di kota entah untuk kepentingan dinas atau pribadi. Usai jam sekolah, si siswa pulang, melepas pakaian seragam, makan siang dan lalu bermain. Pada malam hari, sebagian besar di antara mereka pergi melaut atau bermain, tidak belajar. Listrik pada sebagian besar kampung belum ada. Apalagi akses untuk memperoleh informasi alternatif nyaris tidak ada. Satu-satunya media informasi adalah televisi di rumah tetangga, yang sayangnya, masih dipenuhi acara sinetron, horror, maupun kekerasan.
Sejak bertahun lalu, saya sudah resah melihat kondisi ini. Namun situasi belakangan membuat keresahan lebih meningkat. Penerapan Ujian Akhir Nasional (UAN) tidak selalu berakibat baik. Di tingkat makro, saat ini, ironinya 300an SMA, 500an SMP gagal meluluskan lebih dari 300 ribu anak di seluruh Indonesia. Masalahnya lagi, nilai untuk lulus tiap tahun dinaikkan 25 basis point. Dan tahun depan sudah harus di atas angka 5.75. Padahal, jangankan laboratorium, guru bermutu dan perpustakaan saja masih mimpi di remote area. Apakah anak bangsa yang di daerah remote seperti di Korido ini memiliki harapan untuk masuk jenjang pendidikan lebih tinggi, sementara dia sedang beradu dengan siswa di kota-kota besar ibarat becak beradu kecepatan dengan mobil mewah di jalan tol? Apakah anak-anak dari daerah remote ini bisa bersaing di dunia kerja dalam era globalisasi yang mempersyaratkan penguasaan IPTEK tinggi?
Keresahan ini melahirkan obsesi untuk membangun satu Perpustakaan dan Taman Bacaan di kampung Korido yang terpadu dengan Taman Bermain Anak-Anak. Saya memulai proses ini dengan menyisihkan penghasilan saya untuk membangun infrastruktur nya sejak tahun 2009. Saya berharap bahwa pada Juli 2010 seluruh infrastruktur sudah diselesaikan dan dapat diresmikan penggunaannya menandai dimulainya tahun ajaran baru 2010 - 2011. Sambil selesaikan pekerjaan infrastruktur, saat ini saya mulai mengumpulkan berbagai buku untuk mengisi perpustakaan serta mainan anak-anak. Saya juga mendiskusikan keresahan ini dengan para orang tua, guru, tokoh agama, dan beberapa murid untuk bersama-sama memacu diri untuk bekerja dan belajar lebih serius – suatu lokakarya yang membahas masalah ini nampaknya diperlukan.
Dan mudah-mudahan nanti tahun 2011, saya bisa melembagakan aktivitas ini di bawah naungan sebuah institusi (semisal LSM) untuk memastikan kerja sama melalui manajemen yang profesional dengan pihak pemerintah dan badan sosial lain.
Semoga saja, melalui lembaga ini, kami akan memiliki taman bermain anak-anak, taman baca, perpustakaan induk, dan perpustakaan keliling seperti mobil atau perahu bermotor tempel untuk memberikan akses buku kepada lebih banyak anak sekolah di area yang lebih terpencil.
Memang inisiatif ini bukan jalan keluar paripurna atas masalah di atas. Pembangunan pendidikan mensyaratkan pembenahan infrastruktur, guru yang berkualitas dan sejahtera, kurikulum, keterlibatan masyarakat. Namun saya berharap bahwa pengelolaan Taman Bermain, Taman Baca, dan Perpustakaan, secara optimal bisa memicu proses aksi dan refleksi kritis di antara orang tua, guru dan pengambil kebijakan pendidikan untuk mencari solusi mendalam untuk mengurangi resiko buruk bagi masa depan anak di remote area. Bagi siswa, jika Taman Bacaan bisa disinari pada malam hari dengan beberapa lampu petromaks berbahan bakar minyak tanah dengan durasi waktu 4 jam semalam, maka kita bisa menambah jam belajar mandiri siswa secara bertahap dari 1 sampai 4 jam per malam.
Kami memerlukan buku sekolah sesuai kurikulum nasional baik SD sampai SMA, film pendidikan, buku bacaan umum maupun bacaan anak-anak yang bisa memotivasi anak belajar, rekaman drama pendidikan, film/buku/rekaman cerita tentang keberhasilan orang yang berjuang mengatasi kesulitan hidup, film atau rekaman drama audio mengenai tantangan globalisasi, dan mainan anak-anak dalam berbagai bentuk. Atau mungkin anda bisa membantu saya meneruskan ide ini kepada pribadi atau lembaga yang punya program serupa yang bisa membantu mewujudkan obsesi ini lebih cepat. Apa pun itu, kiranya itu dapat memberi kontribusi dalam membangun masa depan anak bangsa di daerah terpencil, antara lain di kampung Korido dan sekitarnya.
Terima kasih.
Biak 17 Mei 2010
Salam,
Yosef Rumaseb
Kompleks Kantor Bangdes
Kabupaten Biak Numfor
Jalan Sorido Raya
BIAK - Papua
Email : yosef.rumaseb@hotmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar